Wednesday, January 30, 2013
Perencanaan Fisik Pembangunan
PERENCANAAN FISIK PEMBANGUNAN
perencanaa fisik pembangunan
Perencanaa fisik adalah suatu usaha pengaturan dan penataan kebutuhan fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan berbagai kegiatan fisik.
4 lingkup
-nasional
-regional
-lokal
-sektor swasta
LINGKUP NASIONAL
Kewenangan semua instasi tingkat pemerintahan pusat berada dalam lingkup kepentingan secara sektoral. departemen-departemen yang berkaitan langsung dengan perencanaan fisik khususnya terkait dengan pengembangan wilayah
-departemen pekerjaan umum
-departemen perhubungan
-departemen perindustrian
-departemen pertanian
-departemen pertambangan
-energi departemen nakertrans
Perencanaan fisik pada tingkat nasional tidak memepertimbangkan distribusi kegiatan tata ruang secara spesifikasi dan mendetail.
missal nya :
program subsidi untuk pembangunan peruamahan atau program perbaikan kampong pada tingkat nasional tidak akan di bahas secara terperinci dan tidak membahas spesifikasi program ini pada suatu daerah.
LINGKUP REGIONAL
instasi yang berwenang dalam perencanaan pembangunan pada tingkat regional di Indonesia adalah pemda tingkat 1 di samping adanya dinas-dinas daerah maupun vertical.
contohnya :
-dinas PU
-DLLAJR
-kanwil-kanwil yang mengkoordinasi adalah BAPPEDA tingkat 1 di setiap provinsi.
Walaupun pertingkat kota dan kabupaten konsistensi sejalan dengan ketentuan rencana pembangunan yang telah di gariskan di atas (tingkat nasional dan regional) daerah tingkat II itu sendiri masih mempunyai ketentuan dalam mengurus perencanaan wilayah sendiri
LINGKUP LOKAL
tingkat kodya atau kabupaten biasanya seperti di bebankan kepada dinas-dinas.
contohnya : dinas PU,dinas TATA KOTA,dinas kebersihan,dinas pengawasan pembangunan kota,dinas kesehatan,dinas PDAM.
berdasarkan kepres NO.27 th 1980 utnuk BAPPEDA tingkat II
LINGKUP SWASTA
Lingkup swasta dulu nya hanyalah sebatas pada skala perencanaan pembangunan perumahan,jaringan utilitas,pusat perbelanjaan.sekarang semakin positive menjadi indicator untuk memicu diri bagi instasi pemerintahan maupun BUMN.
persaingan muncul menjadikan tolak ukur bagi tiap-tiap competitor (swasta dan pemerintah) dan berdampak pada peningkatan kualitas layanan atau produk
Perencanaa fisik adalah suatu usaha pengaturan dan penataan kebutuhan fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan berbagai kegiatan fisik.
4 lingkup
-nasional
-regional
-lokal
-sektor swasta
LINGKUP NASIONAL
Kewenangan semua instasi tingkat pemerintahan pusat berada dalam lingkup kepentingan secara sektoral. departemen-departemen yang berkaitan langsung dengan perencanaan fisik khususnya terkait dengan pengembangan wilayah
-departemen pekerjaan umum
-departemen perhubungan
-departemen perindustrian
-departemen pertanian
-departemen pertambangan
-energi departemen nakertrans
Perencanaan fisik pada tingkat nasional tidak memepertimbangkan distribusi kegiatan tata ruang secara spesifikasi dan mendetail.
missal nya :
program subsidi untuk pembangunan peruamahan atau program perbaikan kampong pada tingkat nasional tidak akan di bahas secara terperinci dan tidak membahas spesifikasi program ini pada suatu daerah.
LINGKUP REGIONAL
instasi yang berwenang dalam perencanaan pembangunan pada tingkat regional di Indonesia adalah pemda tingkat 1 di samping adanya dinas-dinas daerah maupun vertical.
contohnya :
-dinas PU
-DLLAJR
-kanwil-kanwil yang mengkoordinasi adalah BAPPEDA tingkat 1 di setiap provinsi.
Walaupun pertingkat kota dan kabupaten konsistensi sejalan dengan ketentuan rencana pembangunan yang telah di gariskan di atas (tingkat nasional dan regional) daerah tingkat II itu sendiri masih mempunyai ketentuan dalam mengurus perencanaan wilayah sendiri
LINGKUP LOKAL
tingkat kodya atau kabupaten biasanya seperti di bebankan kepada dinas-dinas.
contohnya : dinas PU,dinas TATA KOTA,dinas kebersihan,dinas pengawasan pembangunan kota,dinas kesehatan,dinas PDAM.
berdasarkan kepres NO.27 th 1980 utnuk BAPPEDA tingkat II
LINGKUP SWASTA
Lingkup swasta dulu nya hanyalah sebatas pada skala perencanaan pembangunan perumahan,jaringan utilitas,pusat perbelanjaan.sekarang semakin positive menjadi indicator untuk memicu diri bagi instasi pemerintahan maupun BUMN.
persaingan muncul menjadikan tolak ukur bagi tiap-tiap competitor (swasta dan pemerintah) dan berdampak pada peningkatan kualitas layanan atau produk
Study Kasus Hukum Perburuhan No. 12 TH 1964 Tentang PHK
PHK di Jabar Capai 20.000 Lebih
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat, Dedy Wijaya, mengisyaratkan, di tahun 2009, sekitar 15.000 pekerja berpotensi di-PHK apabila krisis masih berkepanjangan. "Saat ini, 15.000 tenaga kerja tersebut telah dirumahkan," ungkap Dedi di Bandung, Kamis (8/1).
Di awal 2009 ini, kondisi dunia usaha belum juga membaik. Sebagian pelaku usaha masih kesulitan mendaparkan order ekspor. Di sisi lain, biaya produksi dipastikan terus bertambah. Untuk mengurangi beban produksi tersebut, pengusaha terpaksa merumahkan tenaga kerjanya.
"Apabila upaya merumahkan pekerja dinilai kurang berpengaruh, pengusaha akhirnya melakukan PHK. Saat ini, hampir seluruh sektor industri di Jabar telah mem-PHK atau setidaknya merumahkan pekerjanya," ujar Dedi.
Menurut dia, sebagian besar kasus PHK terjadi di wilayah sentra industri. Di antaranya, Karawang, Bekasi, Bogor, Purwakarta, dan Kabupaten Bandung. (www.kompas.com)
Hukum Perikatan Undang-Undang
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
- Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
- Perikatan yang timbul dari undang-undang
- Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
- Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
- Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
- Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
Contoh Hukum Perikatan Perjanjian
CONTOH KONTRAK KERJA BIDANG
KONSTRUKSI :
SURAT PERJANJIAN KERJA
Nomor : OO1/SPK015/XI/05
T E N T A N G
PEKERJAAN PEMBANGUNAN DINDING PARTISI PT. JAYA
MAJU
CABANG BEKASI
ANTARA
PT. ANTARA
DENGAN
CV. PANCA INDERA
Pada hari ini Kamis tanggal Dua Bulan November
tahun Dua Ribu Lima kami yang bertanda tangan di bawah ini :
1. Nama : HASAN
Jabatan : Branch Controller
Mewakili : PT ANTARA
Alamat : Jalan Mawar - Bekasi
Yang selanjutnya dalam Surat Perjanjian Kerja
ini disebut PIHAK PERTAMA.
2. Nama : SEPTIADI
Jabatan : General Manager
Mewakili : CV PANCA INDERA
Alamat : Jl. Alamanda - Bekasi
Telpon : 021-729 2727
Yang selanjutnya dalam Surat Perjanjian Kerja
ini disebut PIHAK KEDUA.
PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA telah sepakat
bersama-sama mengadakan Perjanjian / Kontrak Kerja Pekerjaan PEMBANGUNAN
DINDING PARTISI PT. JAYA MAJU Cabang BEKASI yang mengikat menurut ketentuan
sebagaimana tercantum menurut pasal-pasal sebagai berikut :
PASAL 1
TUGAS PEKERJAAN
PIHAK PERTAMA dalam kedudukannya seperti
tersebut diatas memberi tugas kepada PIHAK KEDUA dan PIHAK KEDUA menerima
tugas-tugas tersebut untuk melaksanakan Pekerjaan PEMBANGUNAN DINDING PARTISI
PT JAYA MAJU cabang BEKASI.
PASAL 2
JUMLAH HARGA BORONGAN
Jumlah Harga Borongan pekerjaan tersebut adalah
sebesar Rp. 99,000,000.-- (Sembilan Puluh Sembilan Juta Rupiah) sesuai
bahan/material yang tertera di dalam penawaran akhir. (Lihat lampiran A)
PASAL 3
CARA PEMBAYARAN
1. PIHAK KEDUA dapat menerima uang muka sebesar
30% dari nilai kontrak atau sebesar 30% x Rp. 99.000.000 = Rp. 29,700,000.--
(Dua Puluh Sembilan Juta Tujuh Ratus Ribu Rupiah ), melalui Bank BNI
1234-242-1414 dan pekerjaan akan dimulai setelah diadakan pembayaran uang muka
dari pihak pertama.
2. Pembayaran berikutnya dilaksanakan oleh PT
JAYA MAJU Cabang BEKASI yang diatur sebagai berikut :
a). Pembayaran kedua sebesar 30 % dari harga
borongan apabila kemajuan fisik pekerjaan telah mencapai 65 % yang di buktikan
dengan laporan kemajuan fisik.
b). Pembayaran Ketiga sebesar 35% dari harga
borongan yang di bayarkan apabila kemajuan pekerjaan telah mencapai 100% yang
di buktikan dengan laporan kemajuan fisik.
c). Pembayaran Keempat sebesar 5 % apabila masa
waktu pemeliharaan telah selesai selama 1 bulan.
PASAL 4
LAMA PEKERJAAN DAN SANKSI
1. Lama pekerjaan yang disanggupkan adalah 40
hari sejak hari Rabu tanggal 10 November 2005 (uang muka diterima) sampai
dengan penyerahan pada hari Jumat tanggal 10 Desember 2005.
2. Apabila terjadi keterlambatan penyerahan
hasil pekerjaan maka berdasarkan Surat Perjanjian Kerja ini, PIHAK KEDUA
dikenakan denda sebesar 1/1000 (Satu Perseribu) dari Harga Borongan / Nilai
Kontrak untuk setiap hari kelambatan.
PASAL 5
PERSELISIHAN DAN DOMISILI
1. Apabila terjadi perselisihan antar kedua belah
pihak, maka pada dasarnya akan diselesaikan secara musyawarah.
2. Apabila dalam musyawarah tersebut tidak
diperoleh penyelesaian, maka perselisihan tersebut diselesaikan oleh suatu
Panitia Arbitrage yang terdiri dari seorang wakil PIHAK PERTAMA, seorang wakil
PIHAK KEDUA dan seorang wakil PIHAK KETIGA yang dipilih oleh kedua belah pihak
yang memilih tempat kedudukan yang sah dan tidak berubah di kantor Pengadilan
Negeri Bangka -Belitung.
3. Selama proses penyelesaian perselisihan
dengan cara musyawarah, tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda pelaksanaan
pekerjaan sesuai jadwal yang ditetapkan.
PASAL 6
P E N U T U P
1. Surat perjanjian Kerja ini dinyatakan sah,
mengikat kedua belah pihak dan berlaku setelah ditanda tangani oleh kedua belah
pihak pada hari, tanggal, bulan dan tahun tersebut di atas.
2. Surat Perjanjian Kerja ini dibuat dalam 2
rangkap bermaterai cukup / Rp. 6.000,- (Enam Ribu Rupiah) dan mempunyai
kekuatan hukum yang sama untuk PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA dan selebihnya
diberikan kepada pihak-pihak yang ada hubungannya dengan pekerjaan ini.
SANKSI PELANGGARAN KONTRAK
Kontrak kerja kontruksi merupakan ukuran pasti
dalam mengadakan pekerjaan kontruksi, sehingga pelanggaran kontrak kerja
kontruksi merupakan kejadian yang timbul karena salah satu pihak melakukan
tindakan cidera janji (wanprestasi). Jadi, penyelesaian hukum yang diambil
adalah secara kontraktual.
sumber:
• http://id.shvoong.com
• http://know.brr.go.id
• http://media.hariantabengan.com
Contoh Study Kasus UU No. 24 TH. 1992, Tentang Tata Ruang
Pemilikan tanah diawali dengan munduduki suatu wilayah yang oleh masyarakat Adat disebut sebagai tanah komunal (milik bersama). Khususnya di wilayah pedesan di luar Jawa, tanah ini diakui oleh hukum Adat tak tertulis baik berdasarkan hubungan keturunan maupun wilayah.
Seiring dengan perubahan pola sosial ekonomi dalam setiap masyarakat, tanah milik bersama masyarakat Adat ini secara bertahap dikuasai oleh anggota masyarakat melalui penggarapan yang bergiliran. Sistem pemilikan individual kemudian mulai dikenal di dalam sistem pemilikan komunal.
Situasi ini terus berlangsung di dalam wilayah kerajaan dan kesultanan sejak abad ke lima dan berkembang seiring kedatangan kolonial Belanda pada abad ke tujuhbelas yang membawa konsep hukum pertanahan mereka.
Selama masa penjajahan Belanda, pemilikan tanah secara perorangan menyebabkan dualisme hukum pertanahan, yaitu tanah-tanah di bawah hukum Adat dan tanah-tanah yang tunduk kepada hukum Belanda. Menurut hukum pertanahan kolonial, tanah bersama milik Adat dan tanah milik Adat perorangan adalah tanah di bawah penguasaan negara.
Hak individual atas tanah, seperti hak milik atas tanah, diakui terbatas kepada yang tunduk kepada hukum barat. Hak milik ini umumnya diberikan atas tanah-tanah di perkotaan dan tanah perkebunan di pedesaan. Dikenal pula beberapa tanah instansi pemerintah yang diperoleh melalui penguasaan.
Hak Hak Atas Tanah Sekarang:
Berbeda dangan politik domein-verklaaring di masa penjajahan Belanda, dewasa ini tanah yang belum atau tidak melekat atau terdaftar dengan sesuatu hak atas tanah di atasnya, maka tanah tersebut adalah Tanah Negara. Di pulau Jawa, hal ini ditandai dengan tidak terdaftarnya tanah tersebut sebagai tanah obyek pajak di Buku C Desa, atau tercatat dalam buku Desa sebagai Tanah Negara atau GG (Government Grond).
Jenis hak-hak atas tanah dewasa ini, adalah:
1. Hak Milik
2. Hak Guna Bangunan
3. Hak Guna Usaha
4. Hak Pakai
5. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
6. Hak Pengelolaan
7. Hak Tanggungan di atas sesuatu hak atas tanah
Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Hak atas Tanah:
UU No.5/1960 tentang Pokok-pokok Agaria
UU No.3/Prp/1960 tentang Penguasaan Benda-benda tetap milik perseorangan Warga Negara Belanda (P3MB)
UU No.51/1960 tantang Larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya
PP No.40/1996 tentang HGU, HGB dan HP atas tanah
PP No.39/1973 tentang Acara penetapan ganti rugi oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya
Peraturan Presidium Kabinet No.5/Prk/1965 tentang Penegasan status rumah/tanah kepunyaan badan-badan hukum yang ditinggalkan direksi/pengurusnya (Prk.5)
Keppres No.55/1993 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
Keppres No.32/1979 tentang Pokok kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru atas tanah asal konversi hak-hak Barat
Inpres No.9/1973 tentang Pelaksanaan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya
Peraturan MNA/KaBPN No.1/1994 tentang Ketentuan pelaksanaan Keppres No.55/1993
Peraturan MNA/KaBPN No.3/1999 tentang Pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah Negara
Peraturan MNA/KaBPN No.9/1999 tentang Tatacara pemberian dan pembatalan hak atas tanah Negara dan hak Pengelolaan
Contoh kasus:
Salah satu contoh permasalahan yang timbul menyangkut permasalahan perukiman contohnya adaah masalah permuiman di rusun Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Rusun tersebut makin hari makin ditinggali penghuninya karena tidak betah tinggal didalamnya,hal ii karena sarana/fasilitas pendukung yang kurang memadai. Ditambah Perhimpunan Penghuni Rusun (PPRS), dimana pembentukannya oleh pengembang atau manajemennya bukan penghuni rusun.Padahal jelas-jelas namanya Perhimpunan Penghuni Rusun, mengapa pembentukanya oleh pengembang??? bukankah seharusnya oleh penghuni rusun itu sendiri! Bahkan terkadang mereka meminta biaya operasional yang tidak transparan dan memberatkan penghuni rumah susun. PPRS juga tidak menyampaikan laporan pemasukan dan pengeluaran keuangan, serta menetapkan iuran bulanan secara sepihak tanpa terlebih dahulu menyampaikan rencana anggaran tahunan.
suatu permukiman yang dalam hal ini mencontohkan rumah susun. Sebetulnya berperan penting dalam menjawab keterbatasan lahan yang makin hari makin terbatas, Tetapi pembangunan rumah susun yang tidak dilengkapi fasilitas pendukung sama saja bohong! Karena penghuni sangat membutuhkan fasilitas tersebut. Bagaiman mungkn seseorang akan hidup nyaman aman dan tentram kalau fasilitas pendukungnya tidak ada ataupun kurang. Contohnya saja rumah susun yang tidak ada ruang bersamanya, contohnya seperti taman bermain ataupun sarana olahraga yang merupakan salah satu sarana bersosialisasi. Contoh diatas menggambarkan rumah susun yang fasilitas pendukungnya tidak memadai penghuninya dan karena Perhimpunan Penghuni Rusun (PPRS), dimana pembentukannya oleh pengembang atau manajemennya bukan penghuni rusun.
Contoh Study Kasus UU n. 4 Th.1992, Tentang Pemukiman
Rumah adalah salah satu kebutuhan pokok bagi setiap manusia,semakin pesatnya peningkatan jumlah populasi manusia berbanding lurus dengan semakin pesatnya pembangunan perumahan untuk itu perlu dibuat peraturan yang mengatur perumahan dan permukiman.Setiap orang atau badan yg membangun rumah atau pun perumahan wajib mematuhi peraturan2 yg telah dibuat negara dan mengikuti persyaratan teknis,ekologis dan administratif serta melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan.
Untuk mewujudkan permukiman yang layak,sehat,aman dan serasi serta berlandaskan pancasila,peningkatan dan pengembangan pembangunan perumahan perlu diupayakan. Untuk itu dibuatlah UU NO 4 TAHUN 1992 yang mengatur tentang perumahan dan permukiman.
Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup. Pemerintah melakukan pendataan rumah untuk menyusun kebijaksanaan di bidang perumahan dan permukiman.
Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan kawasan permukiman skala besar yang terencana secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang bertahap. Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh badan usaha di bidang pembangunan perumahan dilakukan hanya di kawasan siap bangun atau di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.
Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta, baik dilakukan secara perseorangan atau dalam bentuk usaha bersama dalam pembangunan perumahan dan permukiman. Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang perumahan dan permukiman kepada Pemerintah Daerah.
Setiap orang atau badan yang dengan sengaja melanggar ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang dikenakakan sanksi pidana. Jika kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pidana tidak dipenuhi oleh suatu badan usaha di bidang pembangunan perumahan dan permukiman, maka izin usaha badan tersebut dicabut.
Pembangunan Kawasan Siap Bangun (KASIBA) dan Lingkungan Siap Bangun (LISIBA)
Pengusaha pembangunan KASIBA dan LISIBA untuk keperluan perumahan dan pemukiman harus mengikuti peraturan pemerintah No. 80 Tahun 1999 tentang KASIBA dan LISIBA yang berdiri sendiri.
Perusahaan pembangunan perumahan harus membanguan dan menyediakan tanah sesuai dengan peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1987 dan Istruksi Menteri Dalam Negeri No. 30 Tahun 1990 tentang Penyerahan Prasarana Lingkungan, Sarana Umum dan Sarana Sosial Perumahan Kepada Pemerintah Daerah.
Pengembang (developer) harus membangun hal-hal sebagai berikut:
1. Prasarana lingkungan seperti:
a. Jalan.
b. Saluran air limbah dan instalasi pengolahan air limbah.
c. Saluran air hujan.
d. Jaringan pengumpul air hujan dan atau sistem resapan air hujan.
2. Utilitas umum, seperti:
a. Jaringan gas.
b. Jaringan telepon.
c. Penyediaan air bersih.
d. Jaringan listrik.
e. Pembuangan sampah.
f. Pemadam kebakaran.
Contoh aplikasi dari UU NO 4 TAHUN 1992 :
Pada kasus 2 janda pahlawan,nenek Soetarti dan Rusmini yang terkena kasus dgn pegadaian mereka digugat dgn pasal 36 ayat 4 UU NO 4 TAHUN 1992,"setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 12 ayat 1 dipidana dgn pidana penjara selama-lamanya 2 tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp.20.000.000" karena dituduh menempati rumah yg bukan hak miliknya.Sedangkan isi pasal 12 ayat 1,"penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik"
Kedua nenek tersebut dituntut karena menempati rumah dinas yg terletak di Jatinegara,Jakarta Timur.
sumber {google.com)
Friday, January 25, 2013
Hukum Perburuhan No. 12 Th, 1964 tentang PHK
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 1964
TENTANG
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA
NOMOR 12 TAHUN 1964
TENTANG
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk lebih menjamin ketenteraman serta kepastian bekerja bagi kaum buruh yang di samping tani harus menjadi kekuatan pokok dalam revolusi dan harus menjadisoko-guru masyarakat adil dan makmur, seperti tersebut dalam Manifesto Politik,beserta perinciannya, perlu segera dikeluarkan Undang-undang tentang PemutusanHubungan Kerja di Perusahaan Swasta;
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat 1 serta pasal 27 ayat 2 Undang-undang Dasar;
2. Undang-undang No. 10 Prp tahun 1960 jo Keputusan Presiden No. 239 tahun 1964;
Dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;
MEMUTUSKAN :
I. Mencabut: "Regeling Ontslagrechtvoor bepaalde niet Europe se Arbeiders" (Staatsblad 1941 No. 396) dan peraturan-peraturan lain mengenai pemutusan hubungan kerja seperti tersebutdidalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1601 sampai dengan 1603 Oud danpasal 1601 sampai dengan 1603, yang berlawanan dengan ketentuan-ketentuantersebut didalam Undang-undang ini.
II. Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANGPEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA.
Pasal 1
(1) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusanhubungan kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dilarang:
a. selama buruh berhalanganmenjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selamawaktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus-menerus;
b. selama buruh berhalanganmenjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap Negara yangditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadatyang diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah.
Pasal 2
Bilasetelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan,pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja denganorganisasdi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruhitu tidak menjadi anggota dari salah-satu organisasi buruh.
Pasal 3
(1) Bila perundingan tersebut dalam pasal 2nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapatmemutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin PanitiaPenyelsaian Perselisihan Perburuhan Daerah (Panitia Daerah), termaksud padapasal 5 Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian PerselisihanPerburuhan (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerjaperseorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat(Panitia Pusat) termaksud pada pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagipemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2) Pemutusan hubungan kerja secarabesar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu perusahaan dalam satu bulan,pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, ataumengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkansuatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
Pasal 4
Izintermaksud pada pasal 3 tidak diperlukan, bila pemutusan hubungan kerjadilakukan terhadap buruh dalam masa percobaan.
Lamanyamasa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya masa percobaan harusdiberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang bersangkutan.
Pasal 5
(1) Permohonan izin pemutusan hubungan kerjabeserta alasan alasan yang menjadi dasarnya harus diajukan secara tertuliskepada Panitia Derah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kedudukanpengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan dan kepada Panitia Pusatbagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2) Permohonan izin hanya diterima olehPanitia Daerah/ Panitia Pusat bila ternyata bahwa maksud untuk memutuskanhubungan kerja telah dirundingkan seperti termaksud dalam pasal 2, tetapiperundingan ini tidak menghasilkan persesuaian paham.
Pasal 6
PanitiaDarah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerjadalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata-cara yang berlaku untuk penyelesaianperselisihan perburuhan.
Pasal 7
(1) Dalam mengambil keputusan terhadappermohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia Daerah dan Panitia Pusatdisamping ketentuan-ketentuan tentang hal ini yang dimuat dalam Undang-undangNo. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran-Negaratahun 1957 No. 42), memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja sertakepentingan buruh dan perusahaan.
(2) Dalam hal Panitia Daerah atau PanitiaPusat memberikan izin maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untukmemberikan kepada buruh yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa dan gantikerugian lain-lainnya.
(3) Penetapan besarnya uang pesangon, uangjasa dan ganti kerugian lainnya diatur di dalam Peraturan Menteri Perburuhan.
(4) Dalam Peraturan Menteri Perburuhan itudiatur pula pengertian tentang upah untuk keperluan pemberian uang pesangon,uangjasa dan ganti kerugian tersebut di atas.
Pasal 8
Terhadappenolakan pemberian izin oleh Panitia Daerah, atau pemberian izin dengansyarat, tersebut pada pasal 7 ayat (2), dalam waktu empat belas hari setelahputusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik buruh dan/ataupengusaha maupun organisasi buruh/atau organisasi pengusaha yang bersangkutandapat minta banding kepada Panitia Pusat.
Pasal 9
Panitia Pusat menyelesaikanpermohonan banding menurut tata-cara yang berlaku untuk penyelesaianperselisihan perburuhan dalam tingkat bandingan.
Pasal 10
Pemutusan hubungan kerja tanpaizin seperti tersebut pada pasal 3 adalah batal karena hukum.
Pasal 11
Selama izintermaksud pada pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan bandingtersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusahamaupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya.
Pasal 12
Undang-undangini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi diperusahaan-perusahaanSwasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka,asal mempunyai masa kerja lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut.
Pasal 13
Ketentuan-ketentuanpelaksanaan yang belum diatur di dalam Undang-undang ini ditetapkan olehMenteri Perburuhan.
Pasal 14
Undang-undang ini mulai berlakupada hari diundangkannya.
Agar supaya setiap orang dapatmengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannyadalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23September 1964.
pada tanggal 23September 1964.
PD. PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA,
Dr. SUBANDRIO.
Diundangkan diJakarta
pada tanggal 23September 1964.
pada tanggal 23September 1964.
SEKRETARIS NEGARA,
MOHD. ICHSAN.
LEMBARAN NEGARA TAHUN 1964 NOMOR 93
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG No.12 TAHUN 1964
ATAS
UNDANG-UNDANG No.12 TAHUN 1964
tentang
PEMUTUSAN HUBUNGANKERJA DI PERUSAHAAN SWASTA.
UMUM.
Bagikaum buruh putusnya hubungan kerja berarti permulaan masa pengangguran dengansegala akibatnya, sehingga untuk menjamin kepastian dan ketenteraman hidup kaumburuh seharusnya tidak ada pemutusan hubungan kerja.
Tetapipengalaman sehari-hari membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapatdicegah seluruhnya.
Berbagaijalan dapat ditempuh untuk memecahkan persoalannya. Setelah ditinjaumasak-masak berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lampau, maka pada hematPemerintah, sistim yang dianut dalam Undang-undang ini adalah yang paling tepatbagi negara kita dalam taraf pertumbuhan sekarang.
Pokok-pokokpikiran yang diwujudkan dalam Undang-undang ini dalam garis besarnya adalahsebagai berikut:
1. Pokok pangkal yang harus dipegang teguhdalam menghadapi masalah pemutusan hubungan kerja ialah bahwa sedapat mungkinpemutusan hubungan kerja harus dicegah dengan segala daya upaya, bahkan dalambeberapa hal dilarang.
2. Karena pemecahan yang dihasilkan olehperundingan antara pihak-pihak yang berselisih sering kali lebih dapat diterimaoleh yang bersangkutan dari pada penyelesaian dipaksakan oleh Pemerintah, makadalam sistim Undang-undang ini, penempuhan jalan perundingan ini merupakankewajiban, setelah daya upaya tersebut pada 1 tidak memberikan hasil.
3. Bila jalan perundingan tidak berhasilmendekatkan kedua pihak, barulah Pemerintah tampil kemuka dan campur-tangandalam pemutusan hubungan kerja yang hendak dilakukan oleh Pengusaha. Bentukcampur-tangan ini adalah pengawasan prepentip, yaitu untuk tiap-tiap pemutusanhubungan Kerja oleh pengusaha diperlukan izin dari Instansi Pemerintah.
4. Berdasarkan pengalaman dalam menghadapimasalah pemutusan hubungan kerja, maka sudah setepatnyalah bila pengawasanprepentip ini diserahkan kepada Panitya Penyelesaian Perselisihan PerburuhanDaerah dan Panitya Penyelesaian Perburuhan Pusat.
5. Dalam Undang-undang ini diadakanketentuan-ketentuan yang bersifat formil tentang cara memohon izin, memintabanding terhadap penolakan permohonan izin dan seterusnya.
6. Disamping itu perlu dijelaskan bahwabilamana terjadi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran sebagai akibatdari tindakan Pemerintah, maka Pemerintah akan berusaha untuk meringankan bebankaum buruh itu dan akan diusahakan penyaluran mereka pada perusahaan/proyekyang lain.
- Demikian juga pemutusan hubungan kerja karena akibat modernisasi, otomatisasi, effisiency dan rationalisasi yang disetujui oleh Pemerintah mendapat perhatian Pemerintah sepenuhnya dengan jalan mengusahakan secara aktif penyaluran buruh-buruh itu keperusahaan/proyek lain.
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Sekiranya disini dikemukakan, bahwa jumlah sepuluh termaksud pada pasal 3 ayat (2) hanyamerupakan ancar-ancar; ukuran yang penting yalah maksud/hasrat pengusaha untuk memutuskan hubungan kerja secara besar-besaran.
Pasal 4
Dalam masa percobaan menurut hukum yang berlaku kedua pihak berwenang untukmemutuskan hubungan kerja seketika. Asas tersebut telah dipertahankan dalam Undang-undang ini.
Pasal 5
Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehingga tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Pasal 6
Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehinggatidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Pasal 7
Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehingga tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Pasal 8
Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehingga tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Pasal 9
Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehinggatidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Berdasarkanpasal 12 ini semua buruh (termasuk buruh contractor) dengan tidak menghiraukan apakah mereka buruh harian, bulanan) atau borongan (op stuikloon) dilindungi oleh Undang-undang ini.
Yang dimaksudkan dengan perusahaan, yalah perusahaan yang tidak berstatus perusahaannegara atau perusahaan daerah dan yang merupakan organisasi dari alat-alatproduksi untuk menghasilkan barang-barang atau jasa guna memuaskan kebutuhanmasyarakat.
Adapun mengenai pemutusan hubungan kerja diperusahaan- perusahaan negara dan daerah,Pemerintah bermaksud mengadakan peraturan tersendiri.
Pasal 13Yang dimaksudkan dengan perusahaan, yalah perusahaan yang tidak berstatus perusahaannegara atau perusahaan daerah dan yang merupakan organisasi dari alat-alatproduksi untuk menghasilkan barang-barang atau jasa guna memuaskan kebutuhanmasyarakat.
Adapun mengenai pemutusan hubungan kerja diperusahaan- perusahaan negara dan daerah,Pemerintah bermaksud mengadakan peraturan tersendiri.
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
sumber : http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_12_64.htm
Hukum Perburuhan UU Perburuhan Hukum Perburuhan No.12 Th 1948
No.12 Th 1948 Tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh
Undang-undang ini menjelaskan tentang aturan-aturan terhadap pekerja buruh dalam hal persyaratan untuk menjadi seorang buruh, pengaturan jam kerja dan jam istirahat, pemberian upah, perlindungan terhadap buruh perempuan, tempat kerja dan perumahan buruh, tanggung jawab, pengusutan pelanggaran, dan aturan tambahan.
Undang-undang ini berfungsi untuk melindungi buruh dari hal-hal yang tidak diharapkan.
Contoh Kasus :
Sungguh tak enak menjadi pekerja outsourcing. Mereka harus menggantungkan hidup dari kemurahan perusahaan pengguna jasa tenaga kerja (user). Penderitaan buruh outsourcing makin lengkap ketika hubungan kerjanya dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja (agen) hanya terikat dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Kondisi itu juga yang dialami Ali, pria paruh baya yang lebih dari 15 tahun menjadi buruh outsourcing. Di tengah isu kenaikan harga BBM -yang biasanya berujung pada kenaikan harga bahan pokok- Ali malah menganggur. PT Bank Mandiri Tbk, user yang mempekerjakan Ali sebagai sopir, memutuskan tidak lagi memakai jasanya. Sialnya lagi, PT Puriasri Bhaktikarya (Puriasri) selaku agen ternyata ikut-ikutan memutus hubungan kerja dengan Ali.
Penderitaan Ali kian bertambah tatkala Bank Mandiri maupun Puriasri sama sekali tidak memberi uang pesangon atau uang penghargaan lainnya. Sepeser pun saya tidak pernah menerima duit dari mereka (Puriasri atau Bank Mandiri-red), ujar Ali lirih. Kini, Ali dibantu Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), sedang berjuang merebut haknya di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta.
Kepada hukumonline, Ali menceritakan hubungan kerjanya dengan Puriasri dimulai sejak 1992. Ia pun langsung ditempatkan di Bank Expor Impor Indonesia, salah satu bank pemerintah yang ikut merger membentuk Bank Mandiri pada bulan Juli 1999. Awalnya tidak ada perjanjian kerja tertulis apapun antara Ali dengan Puriasri. Tanpa sepengetahuannya, pada tahun 1996, Puriasri mengeluarkan PKWT yang berlaku selama tiga bulan.
Setelah itu, Ali ibarat panen PKWT. Pak Ali selalu diperpanjang berulang-ulang PKWT-nya dan tetap bekerja di Bank Mandiri, timpal Timbul Siregar, kuasa hukum Ali. Total PKWT yang ditandatangani Ali mencapai sembilan buah. Masih saya simpan nih, kata Ali sembari memperlihatkan PKWT dimaksud kepada hukumonline.
Bagi Timbul, praktik kerja yang dilakukan Puriasri sudah menyalahi aturan. Alasannya, kontrak kerja yang sudah berkali-kali dan melebihi waktu tiga tahun, secara hukum akan berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Artinya, Ali seharusnya sudah menjadi pegawai tetap Puriasri. Dengan demikian, Puriasri tidak bisa memutus hubungan kerja Ali secara semena-mena. Butuh penetapan PHI terlebih dulu dan kalau memang diputus demikian, ia berhak atas pesangon dan lain-lain, tegas Wakil Presiden OPSI itu. Fakta berbicara lain. Ali ternyata tidak memperoleh apapun.
Masalah Ali tidak berhenti disitu. Selama di Bank Mandiri, ia mengaku sering dipekerjakan dalam waktu lembur. Upah lembur selalu dibayarkan langsung oleh bank plat merah tersebut ke rekening pribadinya. Kalau upah bulanan saya dapat dari Puriasri, jelasnya. Pada saat terakhir bekerja, ia mengaku menerima upah lembur sebesar Rp9.000 tiap jamnya.
Jika mengacu pada Keputusan Menakertrans No 102/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur, maka rumusnya upah lembur perjamnya dihitung dari gaji perbulan dibagi dengan 173. Setelah dihitung-hitung, seharusnya upah lembur Pak Ali ini sekitar Rp12.139, terang Timbul.
Merasa hak-haknya dikangkangi, Ali tidak tinggal diam. Ia lantas menempuh jalur penyelesaian hubungan industrial. Mediator Disnakertrans DKI Jakarta memenangkannya. Puriasri dihukum untuk mempekerjakan Ali pada jabatan dan posisi semula. Selain itu, Puriasri juga dianjurkan untuk membayar upah selama proses penyelesaian perselisihan. Namun karena Puriasri tidak menghiraukan anjuran Disnakertrans, Ali melanjutkan perselisihan ke PHI.
Dalam gugatannya, Ali menuntut Puriasri (Tergugat I) untuk dipekerjakan kembali. Sedangkan Bank Mandiri (Tergugat II) dituntut untuk membayar kekurangan upah lembur selama dua tahun sebesar Rp8,4 juta.
Langgar PKWT
Persidangan perkara Ali sudah memasuki tahap jawab-jinawab. Semua dalil Ali dibantah Puriasri. Misalnya, mengenai PKWT yang berulang-ulang. Puriasri berdalih kontrak kerja antara Ali dan Puriasri berjalan insidentil dan terputus-putus, sesuai kemampuan Puriasri memenangkan tender pengadaan jasa di Bank Mandiri.
Agen penyalur tenaga kerja itu juga berdalih PKWT yang dibuatnya tidak menyalahi aturan. Menurut penghitungan Puriasri, sejak 1996 sampai akhir 2007, masa efektif kerja Ali hanya sekitar 18 bulan. Atau masih lebih sedikit dari yang ditetapkan UU No 13/2003 (Ketenagakerjaan), yaitu dua tahun. Dari hal kinerja, Puriasri juga ingin menunjukan kesalahan Ali, seperti menyalahkan Ali ketika ia menghantamkan kendaraan ke trotoar.
Khusus mengenai PKWT berulang-ulang, Reytman Aruan, Kasubag Hukum dan Organisasi Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jamsostek Depnakertrans, angkat bicara. Kepada hukumonline, ia menegaskan UU Ketenagakerjaan sudah jelas mengatur hal tersebut. Kalau sudah bertahun-tahun dan berulang-ulang, demi hukum, ia akan berubah menjadi PKWTT, ungkapnya.
Secara tidak langsung Reytman ingin menyatakan bahwa Puriasri telah salah kaprah dalam menghitung masa kerja Ali. Undang-undang menyebutkan PKWT dapat dilakukan untuk maksimal dua tahun dan dapat diperpanjang untuk maksimal satu tahun. Ingat! kata-kata kuncinya yaitu, maksimal. Kalaupun PKWT dilakukan untuk tiga bulan, tiga minggu, tiga hari, tetap saja namanya PKWT dan sudah harus dihitung itu, Reytman menguraikan.
Bank Mandiri juga tidak mau kalah beradu argumen. Bank Mandiri seolah tidak mau tahu apa yang terjadi dengan Ali. Alasannya, Ali hanya memiliki hubungan kerja dengan Puriasri, bukan dengan Bank Mandiri.
Untuk menguatkan dalilnya, Bank Mandiri mengutip Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerja, upah dan perintah. Dalam kasus ini, perjanjian kerja hanya terjadi antara Ali dengan Puriasri. Makanya, Bank Mandiri menolak untuk membayar kekurangan upah lembur Ali.
Mengenai hubungan kerja ini, pakar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia, Prof. Aloysius Uwiyono pernah berpendapat, hubungan kerja dalam outsourcing secara otomatis berpindah dari agen ke user. Hal itu karena unsur perintah dan pekerjaan berasal dari user. Sementara unsur upah, meski yang membayarkan kepada buruh adalah agen, tapi uangnya berasal dari user.
Komentar :
Outsourcing adalah penyerahan sebagaian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain diklaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Kerugian dari pekerjaan outsourcing adalah pekerja bekerja di bawah perintah perusahaan yang melakukan perjanjian dengan perusahaan tempat mereka bekerja, sehingga pekerja outsourcing merasa dirugikan dalam financial upah, jam kerja, dan tidak ada kenaikan tingkat dalam jenjang karir.
Hukum Perikatan Perjanjian
HUKUM PERIKATAN DALAM JASA KONSTRUKSI
Dalam pengertiannya perikatan dapat terjadi jika sudah melalui perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan menimbulkan suatu hak dan kewajiban. Dan sumber hukum perikatan adalah Perjanjian dan Undang - Undang.
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan,peristiwa atau keadaan. Salah satu bentuk darI hukum perikatan adalah kontrak kerja. Agar pihak pemberi tugas dan pelaksana tugas tidak ada yang merasa dirugikan dan puas akan pekerjaan tsb maka perlu dibuat suatu kontrak kerja sehingga masing-masing pihak dapat menyadari,memahami dan melaksanakan kewajibannya serta mengetahui apa-apa saja yang menjadi haknya dan apabila salah satu pihak merasa dirugikan karena terdapat hal - hal yang tidak dilaksanakan pihak lainnya,yang sudah tercantum dalam kontrak kerja, maka pihak tersebut dapat memberikan sanksi kepada pihak lainnya yang telah disepakati bersama, dapat pula menuntutnya ke pengadilan.
Perikatan terjemahan dari Verbintenis
Verbintenis mengandung banyak pengertian, di antaranya:
Perikatan: masing-masing pihak saling terikat oleh suatu kewajiban/prestasi Dipakai oleh Subekti dan Sudikno.
Perutangan: suatu pengertian yg terkandung dlm verbintenis. Adanya hubungan hutang piutang antara para pihak. Dipakai oleh Sri Soedewi, Vol Maar, Kusumadi.
Perjanjian (overeenkomst):dipakai oleh Wiryono Prodjodikoro
PERJANJIAN
Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
perjanjian di atur dalam UU pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi, “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Pengertian perjanjian yang lain adalah hubungan subjek hukum yang satu dengan yang laindalam bidang harta kekayaan. di mana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya. Untuk sahnya perjanjian dapat dilihat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang.”
Syarat-syarat sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian dinyatakan sah, apabila dipenuhi 4 syarat seperti yang ditegaskan oleh pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2) Kecakapan untuk membuat suatu Perikatan
3) Suatu hal tertenu
4) Suatu sebab yang halal”
Syarat no. 1 atau kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dan syarat no. 2 atau kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut sebagai syarat subjektif, yaitu untuk subjek hukum atau orangnya. Sedangkan syarat no. 3 atau suatu hal tertentu dan syarat no.4 suatu sebab yang halal disebut syart objektif, yaitu syarat untuk objek hukum atau bendanya.
BATALNYA SUATU PERJANJIAN
Perjanjian bisa dibatalkan jika kedua syarat subjektif tidak terpenuhi atau terpenuhi. Batas waktu permintaan pembatalan adalah 5 tahun (BW ps1454), terhitung:
1. Sejak orang cakap hokum
2. Sejak hari paksaan telah berhenti
3. Sejak hari dimana diketahui kehilafan atau penipuan
Aspek Hukum Jasa Konstruksi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi
Jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional, di mana pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu, dirasakan perlu pengaturan secara rinci dan jelas mengenai jasa konstruksi, yang kemudian dituangkan dalam di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (“UU Jasa Konstruksi”).
Jasa Konstruksi Secara Umum
Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Para pihak dalam suatu pekerjaan konstruksi terdiri dari pengguna jasa dan penyedia jasa. Pengguna jasa dan penyedia jasa dapat merupakan orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan berbentuk badan hukum. Penyedia jasa konstruksi yang merupakan perseorangan hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, yang berteknologi sederhana, dan yang berbiaya kecil. Sedangkan pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang berteknologi tinggi dan/atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan.
BERLAKUNYA SUATU PERJANJIAN JASA KONSTRUKSI
Pada umumnya perjanjian mulai berlaku dimana para pihak menyatakan sepakat atas perjanjian. Dalam menuangkan kesepakatannya tersebut, para pihak bisa secara lisan atau tertulis, yaitu pada saat ditandantanganinya perjanjian. Terdapat kekhasan dari perjanjian jasa konstruksi, yaitu sebelum ditandatanganinya perjanjian, para pihak harus melalui proses pengikatan. Dengan proses pengikatan ini, para pihak dianggap telah mengikatkan diri dalam perjanjian dan apabila salah satu pihak telah lalai atau sengaja membatalkan perjanjian, maka dapat dikenakan sanksi. Dalam hal jasa konstruksi ini, pihak penyedia jasa yang memenangkan lelang atau penyedia jasa yang ditunjuk dianggap telah menyetujui perjanjian jasa konstruksi, meskipun kontrak kerjanya belum ditandatangani atau bahkan belum dibuat. Dengan diterbitkannya Surat Penetapan Pemenang Tender (SPPT) dan dilanjutkan dengan terbitnya Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) maka pihak penyedia jasa harus memulai pekerjaannya. Di dalam SPMK, biasanya yang tertuang adalah perintah untuk memulai suatu pekerjaan ditambah dengan keterangan harga borongan, jangka waktu pengerjaan dan syarat pengerjaan. Hal-hal tersebut sangat umum, dan untuk hal-hal yang lebih rinci diatur di dalam perjanjian/ kontrak, yang justru seringkali memakan waktu yang lama dalam proses penyusunannya.
Berdasarkan pasal 1338 KUHPdt, para pihak bebas untuk menentukan bentuk dan isi perjanjian, namun kebebasan untuk menentukan bentuk dan isi perjanjian sekiranya telah hilang, karena di dalam pasal 22 UU Jasa Konstruksi telah ditentukan isi dari suatu kontrak kerja jasa konstruksi. Bentuk perjanjian jasa konstruksi yang ada adalah bentuk kontrak standar, dengan tujuan untuk menjaga agar kontrak dan pelaksanaan tetap mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. Para pihak terutama pihak penyedia jasa tidak mempunyai kebebasan dalam menentukan kontrak jasa konstruksi. Karena semua proses dari tahapan awal dari pendaftaran sampai dengan penetapan pemenang lelang semuanya telah diatur oleh undang-undang berikut peraturan pelaksanaannya termasuk dalam perjanjian kontrak jasa konstruksi telah diatur dalam bentuk standar kontrak. Pihak pengguna jasa dalam hal ini terutama pemerintah dan atau lembaga negara lebih dominan untuk menentukan isi perjanjian.
sumber:
• http://id.shvoong.com
• http://know.brr.go.id
• http://media.hariantabengan.com
Subscribe to:
Posts (Atom)